Sejarah Industri Tekstil
SEJARAH tidak berarti apa pun jika hanya dianggap sebagai cerita yang telah lalu dan tanpa melihat relevansi dengan periode berikutnya. Mengutip sejarawan Robert B. Cribb, ”Sejarah adalah suatu proses yang berkesinambungan. Sejarah perlu dikaji sebagai dalam kerangka yang koheren dari suatu periode ke periode berikutnya.” Oleh karena itu, sejarah tidak hanya menggambarkan penggalan waktu tertentu saja, tapi lebih bisa digunakan sebagai alat untuk mengkaji periode selanjutnya.
Di tengah gembar-gembor rekonstruksi sejarah nasional yang selama ini banyak dilencengkan untuk mendukung hegemoni kekuasaan, muncul juga keinginan untuk membuat sejarah lokal. Salah satu contoh adalah munculnya keinginan dari segelintir warga untuk membuat sejarah lokal. Diharapkan bahwa sejarah lokal tersebut tidak hanya dibuat sebagai sebuah dokumentasi yang bisa diakses oleh generasi berikutnya untuk mengetahui sejarah leluhur mereka. Akan tetapi, sejarah lokal juga bisa dijadikan bahan referensi proses perbaikan kondisi saat ini.
Cerita sejarah lokal tidak bisa dilepaskan dari kegiatan ekonomi dominan setempat, yaitu industri tekstil. Perkenalan masyakarat setempat dengan kegiatan tekstil telah terjadi sejak lama dan masih berlangsung hingga saat ini. Namun dalam perjalanannya telah terjadi banyak pergeseran yang mengakibatkan kontrol terhadap industri tekstil sudah tidak berada di tangan mereka. Posisi usaha mereka sudah banyak yang tidak independen dan menjadi maklun perusahaan besar maupun menengah. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik tingkat makro. Oleh karena itu, sejarah industri tekstil dari sisi pengusaha dan buruh serta berbagai kebijakannya menjadi penting untuk ditelusuri sebagai sebuah proses pembelajaran dan refleksi.
Sejarah industri tekstil
Saat pasar semakin terbuka mereka dengan mudah mengambil kesempatan tersebut karena modal yang diperlukan untuk membeli alat tenun masih murah dan bahan
Industri tenun
Industri tenun rumahan juga sudah mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM. pada masa-masa berikutnya mereka beralih melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, urung kasur, dsb. Sejak tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi.
Di era tahun 1973-1981 Indonesia mengalami masa oil boom dan sifat industrialisasinya sangat eksklusif pada substitusi impor. Faktor-faktor yang menentukan orientasi ke dalam adalah menumpuknya permintaan konsumen yang belum terpenuhi, cepatnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang dimotori oleh kenaikan harga-harga komoditas dan meluasnya campur tangan pemerintah. Keberhasilan industrialisasi yang berorientasi ke dalam dihambat oleh terbatasnya pasar dalam negeri. Pada awalnya, ekspansi industri terjadi dengan cepat karena pasar dalam negeri sudah tersedia dan dibantu oleh kebijakan proteksi. Namun lambat laun mulai menyusut karena pasar dalam negeri telah terpenuhi (Manning, 1998 ; Ariff dan Hill, 1988).
Sebagai akibat kebijakan substitusi impor, posisi industri tekstil dihadapkan pada: (1) inefisiensi, (2) tingkat produktivitas yang rendah, (3) tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bantuan luar negeri, dan (4) iklim usaha yang kurang menunjang, seperti tingkat bunga bank yang tinggi. Kondisi ini akan berakibat langsung terhadap kemampuan atau daya saing
Pada awal tahun 1980-an, industri tekstil
Untuk mengatasi krisis tersebut pemerintah memperkenalkan sertifikat sistem ekspor dan fasilitas kredit bank (Wibisono, 1987 dalam Hardjono, 1987). Berkaitan dengan peninjauan kembali kebijakan substitusi impor, pemerintah mendorong produksi untuk orientasi ekspor. Sebelumnya pabrik-pabrik besar memproduksi kain kualitas menengah yang jangkauannya untuk konsumen domestik. Padahal secara teknis mereka dapat memproduksi kain yang berkualitas lebih baik.
Dengan terbukanya kesempatan ekspor mereka diharapkan dapat memproduksi kain yang berkualitas tinggi untuk pasar ekspor sehingga dapat mengurangi kompetisi di pasar domestik (Ariff dan Hill, 1988; Hardjono, 1990). Upaya pemerintah yang lain adalah melakukan program ”bapak angkat”. Program ini tidak berjalan karena sejak awal telah muncul keluhan-keluhan dari ”bapak angkat” mengenai rendahnya kualitas kain yang diproduksi ”anak angkat”. Sementara itu, ”anak angkat” juga mengeluhkan rendahnya keuntungan yang diperoleh.
Akan tetapi pada praktiknya, program ini tidak berbeda jauh dengan sistem maklun (sistem subkontrak). Akhirnya produsen-produsen kecil sudah tidak tertarik lagi dengan program ini. Akhir tahun 1985, secara umum industri tekstil
Mayoritas produsen mulai merasakan perluasan pasar ini (Hardjono, 1990). Namun ini juga berarti kontrol terhadap keberlangsungan industri tekstil
Sejak akhir tahun 1990-an hingga sekarang kondisi industri tekstil di Majalaya menjadi semakin menurun, terutama pada industri skala menengah ke bawah yang banyak dimiliki oleh para pengusaha lokal. Terlebih lagi ketika terjadi kebakaran pasar Tanah Abang bulan Februari lalu. Kejadian tersebut sangat memukul kegiatan pemasaran mereka karena Tanah Abang merupakan jalur pemasaran utama bagi produk-produk tekstil lokal.
Berdasarkan penuturan buruh-buruh di Bandung saat ini mereka menghadapi kesulitan yang sangat besar karena beberapa pabrik besar sudah mulai melakukan pengurangan jam kerja (pengurangan produksi) dan PHK terutama pada buruh kontrak. Bahkan, beberapa pabrik-pabrik kecil sudah mulai menutup usahanya karena tidak mampu menanggung biaya produksi yang semakin besar akibat kenaikan BBM dan TDL. Kebangkrutan pabrik-pabrik ini juga merupakan bencana bagi buruh-buruhnya juga kegiatan ekonomi lainnya yang didukung atau secara tidak langsung mendukung kelangsungan industri, seperti warung, penyewaan kamar (kost), sarana transportasi (angkutan umum, kereta kuda, dsb.).
Buruh-buruh yang mengalami korban PHK di Bandung mengalami kesulitan yang cukup besar terutama bagi buruh yang telah berkeluarga. Sebagian besar dari mereka terdorong ke sektor informal. Dari uang pesangon yang diperoleh mereka mencoba berbagai kegiatan usaha seperti menjadi pedagang keliling, tukang kredit, membuka warung, dsb. Kegiatan-kegiatan tersebut menjadi salah satu cara bertahan hidup mereka hingga mereka memperoleh pekerjaan kembali.
Bagi penduduk setempat terutama generasi tua, kondisi saat ini menjadi semakin sulit karena mereka sudah kehilangan penopangnya yaitu sektor pertanian yang beberapa periode sebelumnya dapat dijadikan alternatif ketika industri tekstil sedang mengalami penurunan. Saat ini areal pertanian sudah tidak menjadi alternatif mata pencaharian penduduk, selain karena areal pertanian yang semakin sempit (tergeser oleh areal industri) dan juga beralihnya orientasi pekerjaan penduduk (terutama penduduk muda).
Penurunan industri tekstil di
Gerakan perburuhan
Perkembangan industri tekstil juga tidak dapat dilepaskan dari gerakan perburuhan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik di tingkat makro. Pada tahun 1982-1997 gerakan perburuhan di
Ratifikasi konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dan Konvensi ILO No. 98 tentang hak untuk berorganisasi dan berunding bersama pada tahun 1998. Kemudian disahkannya UU No. 21/2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh oleh pemerintah tahun 2000 juga mewarnai aktivitas perburuhan di
Nuansa kompetisi di antara mereka sangat kental dan semakin memecah kekuatan serikat buruh. Padahal, persoalan yang dihadapi sangat membutuhkan soliditas di antara serikat buruh. Salah satu cara untuk menarik anggota adalah dengan mengajukan berbagai tuntutan pada perusahaan yang seringkali menjadi bumerang bagi buruhnya. Tidak sedikit aktivis serikat buruh atau buruh yang di PHK karena mengajukan tuntutan bahkan ketika akan membentuk serikat buruh di tingkat pabrik. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebebasan berserikat belum sepenuhnya berjalan. Kondisi ini tidak hanya terjadi di
Pekerja lokal vs pendatang
Belakangan ini penduduk
Berdasarkan penuturan beberapa penduduk
Namun saat ini preferensinya berubah, syarat pendidikan minimal SMP bahkan perusahaan-perusahaan besar mensyaratkan SMA, memiliki tinggi badan tertentu, dsb. Perubahan ini membatasi kesempatan bekerja bagi penduduk lokal yang rata-rata berpendidikan rendah. Mereka hanya bisa menempati perusahaan-perusahaan kecil yang upahnya masih jauh di bawah ketentuan upah minimum dan tidak memiliki jaminan sosial apa pun.
Terdapat beberapa perbedaan kebijakan antara perusahaan ”besar” dan ”kecil” terutama menyangkut tingkat upah, implementasi UU Ketenagakerjaan dan preferensi buruh. Perusahaan kecil biasanya tidak memberlakukan UU Ketenagakerjaan, standar upahnya minim, tidak memiliki jaminan sosial yang jelas. Sebagai timbal baliknya mereka tidak menentukan batasan usia dan pendidikan tertentu bagi buruhnya dan jam kerja lebih longgar.
Sedangkan perusahaan besar mengacu pada UU Ketenagakerjaan, memiliki standar penerimaan buruh (proses seleksi), jam kerja ketat dengan sistem shift. Perusahaan besar banyak mempekerjakan pendatang karena selain memenuhi persyaratan tersebut juga ada stereotip tertentu mengenai buruh pendatang yaitu tidak banyak menuntut dan rajin bekerja. Apakah ini berarti bahwa penduduk setempat banyak menuntut dan tidak rajin? Saya tidak tahu pasti mengenai hal tersebut.
Namun yang jelas perbedaan kebijakan antara perusahaan kecil dan perusahaan besar ini menyebabkan perbedaan kondisi buruhnya. Artinya kebijakan yang berlaku juga harus sangat memerhatikan keragaman karakteristik industri dan buruhnya. Karakteristik buruh yang berbeda di masing-masing skala usaha sangat penting diperhatikan oleh para organisatoris gerakan buruh dan pemerintah untuk lebih memerhatikan jaminan sosial dan upaya perlindungannya. Apalagi, sebagian besar penduduk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar